Dr. WIYATMI, M.Hum

Pawestren secara semantis menunjuk pada tempat khusus untuk kaum perempuan berada. Dalam konteks agama Islam kata pawestren digunakan  untuk menyebut tempat khusus dari bagian ruang masjid yang diperuntukan kaum perempuan untuk menjalankan sholat. Tempat ini  biasanya berada di samping kiri, tetapi ada juga yang menempatkannya di bagian belakang tempat sholat kaum laki-laki.

Pawestren yang akan dibahas pada kesempatan ini adalah sebuah kumpulan puisi yang digagas dan diterbitkan oleh Ernawati Literary Foundation dan telah diluncurkan ke publik pada 21 Desember 2013 di Taman Budaya Yogyakarta, untuk memperingati Hari Pergerakan Perempuan/ Kongres Perempuan I di Yogyakarta (yang lebih populer dengan sebutan awan Hari Ibu) yang akan jatuh esok harinya, 22 Desember 2013.  Kumpulan puisi Pawestren  memuat  puisi-puisi karya 19 orang penyair perempuan Yogyakarta. Mereka adalah Abidah El Khalieqy, Aning Ayu Kusuma, Choen Supriyatmi, Dorothea Rosa Herliany, Evi Idawati, Fitri Merawati, Inung Setyami, Ita Dian Novita, Komang Ira Puspitaningsih, Menik Suwarno Pragolapati, Marfu’ah, Mutia Sukma, Nana Ernawati, Nur Wahida Idris, Nurul Latifah, Retno Iswandari, Rina Ratih, Ulfatin Ch., dan Wiyatmi.

Berdasarkan usia dan awal mereka menulis puisi, kesembilan belas penyair perempuan tersebut dapat dikelompok menjadi tiga generasi. Abidah El Khalieqy, Nana Ernawati, Menik Suwarna Pragolapati, Dorothea Rosa Herliany, Rina Ratih, Ulfatin Ch, dan Wiyatmi telah mulai menulis dan mempublikasikan puisi-puisinya sejak tahun 1980-an. Generasi kedua (1990-an) ditandai dengan munculnya Choen Supriyatmi, Evi Idawati,dan Ita Dian Novita. Pada generasi ketiga (2000-an) hadir Aning Ayu Kusuma, Fitri Merawati, Inung Setyami Fitri Merawati, Inung Setyami, Komang Ira Puspitaningsih, Marfu’ah, Mutia Sukma, , Nur Wahida Idris, Nurul Latifah, dan Retno Iswandari. Dari tiga generasi tersebut, yang terbanyak jumlahnya adalah generasi ketiga. Tentu hal ini sangat menggembirakan bagi kehidupan kesusastraan, khususnya kepenyairan di Yogyakarta. Kaum perempuan yang selama ini merupakan anggota minoritas dalam kegiatan kreatif sastra di dunia, termasuk Indonesia tampaknya tidak terjadi di Yogyakarta. Tentu saja di luar nama-nama itu masih terdapat sejumlah penyair perempuan di Yogyakarta yang belum terhimpun dalam kumpulan Pawestren.  Mungkin karena keberadaannya saat ini tidak terlacak oleh panitia atau pun penggagas penerbitan antologi puisi ini atau karena keterbatasan waktu  dalam proses mempersiapkan dan menerbitkan antologi sehingga tidak mampu menyangkau kalangan yang lebih luas.

Bagi saya pribadi, penerbitan antologi puisi bersama khusus penyair perempuan ini tentu sangat penting. Profesi penyair yang pernah saya geluti pada pertengahan 1980-an ---dengan mempublikasikan berbagai puisi ke sejumlah media massa di Yogyakarta kala itu, selain antologi bersama ketika mahasiswa— dan sempat saya tinggalkan beberapa tahun, akhirnya saya masuki kembali. Meskipun titik balik tersebut sebenarnya telah saya awali dengan menerbitkan antologi puisi pribadi Pertanyaan Srikandi (2012) dan Suara dari Balik Kabut (2013), serta antologi bersama Sendaren Bagelen (2013).

Dalam perspektif kritik sastra feminis, kehadiran antologi Pawestren yang diuncurkan untuk memperingati 85 tahun Hari Pergerakan Perempuan/ Kongres Perempuan I di Yogyakarta berguna untuk meneguhkan dan memberikan tempat yang kokoh bagi kehidupan kreativitas penyair perempuan di Yogyakarta. Hal ini penting bagi sejarah sastra di Indonesia. Kreativitas sastrawan (termasuk penyair) perempuan yang selama ini cenderung dilupakan keberadaannya dan diabaikan dalam catatan sejarah sastra, sudah saatnya diperhitungkan untuk dimasukkan dalam catatan sejarah sastra Indonesia. Mari kita simak kutipan puisi berikut, yang mengajak pembaca untuk menghargai perjuangan kaum perempuan dalam perjalanan bangsa Indonesia, yang sering kali dilupakan sejarah. Menyimak sejumlah nama/ dari sejarah yang terlipat/aku menemukannya:/ Soewarni Pringgodigdo/ Soejatin Kartowijono/ Rahmah El Junusiah/ Roehana Koedoes....//suara mereka timbul tenggelam/ dalam gelombang lautan sejarah/ yang ditulis dengan tinta patriarkat/ nama-nama mereka pun terlupakan/ dari kelas-kelas/ mati kita simak kembali....(“Menyimak Sejumlah Nama dari Sejarah yang Terlipat,” Wiyatmi). Demikianlah, dengan hadirnya antologi Pawestern sejarah puisi Indonesia harus mentatat kreativitas para penyair perempuan, khususnya di Yogyakarta yang tidak pernah mati.

 

Yogyakarta, 14 Januari 2014

 

Dr. Wiyatmi, M.Hum

(dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNY, penulis beberapa buku, peneliti sastra, dan penyair)