Merengkuh Srandhul Kembali

FBS-Karangmalang. Memudarnya kesenian lokal membuat empat mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa prihatin. Pasalnya, dari ribuan kesenian tradisional yang ada kini hanya segelintir yang diketahui oleh anak-anak muda. Padahal sebagai generasi penerus, anak-anak muda ini diharapkan mampu melestarikan kekayaan budaya lokal. Bukan hanya dikenal, tapi juga ditekuni.

Srandhul sebagai kesenian khas Indonesia hampir dilupakan oleh masyarakat sendiri. Mirisnya, yang lebih dikenal justru “saudara” kesenian ini; kethoprak.

“Kesenian ini sudah jarang yang mengenal. Misalnya, mbaknya tahu kethoprak, tapi tahu srandhul gak? Nah, itu dia,” terang Farid Rachmansyah. “Kita juga punya srandhul, bukan cuma kethoprak, wayang, atau yang lain.”

Mengambil srandhul khas Jepitu, Gunung Kidul, empat mahasiswa FBS membangun PKM-M dengan judul Pelatihan Srandhul Menggunakan Drama Tradisional Kethoprak di Kecamatan Magelang Tengah Kota Magelang sebagai Upaya Pelestarian. Bercerita tentang kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan, Srandhul dipentaskan sebagai ucapan syukur atas hasil tani yang melimpah. Kesenian ini juga memiliki mantera—sebagai doa syukur dan tolak bala, beberapa komponen gamelan (gong, kendang, kenong untuk srandhul khas Jepitu), dan cerita Jaka Tarub-Nawang Wulan yang diselipi kisah pertanian sebagai isi.

“Dengan PKM ini kami berharap masyarakat bisa mempraktikan kesenian srandhul. Yah, paling tidak melestarikan lah,” ujar Farid lagi.

Beranggotakan Indra Oktora, Farid Rachmansyah, Jefrianto, dan Hendra Saputra, mereka berangkat dari sosialisasi sebagai pengenalan awal srandhul, pendataan calon peserta pelatihan, pembangkitan motivasi, pengenalan budaya, seleksi (bagi pengrawit dan pemain), pelatihan, serta pementasan srandhul sebagai metode pelaksanaan. Selain itu kelompok yang diketuai Indra Oktora ini juga mewawancarai pelaku seni srandhul di daerah Jepitu, Gunung Kidul. Pementasan pun telah dilakukan tanggal 11 April lalu di Lab. Karawitan FBS UNY.

“Dari pelatihan ini nantinya kami akan menghasilkan CD dan modul sebagai output. Jadi nantinya masyarakat bisa melihat kembali melalui CD dan membaca ulang lewat modul. Kami juga berharap bisa menjadikan hasil PKM ini sebagai bahan studi,” tutup Farid. (Nunggal)