Prof. Dr. Sri Harti Widyastuti, M.Hum.

TRANSFORMASI ISLAM JAWA DALAM SASTRA JAWA KLASIK

Pendahuluan

Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang sudah berusia sangat tua. Budaya tulis yang sering disebut sastra tulis sudah dimulai dari abad ke-7 dengan ditemukannya karya sastra berjudul Candakarana pada zaman Mataram Kuno. Masa tersebut disebut sebagai masa Jawa Kuno dalam arti masa berkembangnya sastra Jawa Kuno (Zoetmulder,1985). Karya sastra Jawa terjalin dalam rangkaian sejarah sastra dari sastra Jawa Kuno yang dimulai dari abad 8 s.d. 14, sastra Jawa Pertengahan yang dimulai dari abad ke-14 sampai abad ke-15.

Pengertian sastra Jawa Pertengahan dalam sejarah sastra Jawa merupakan bentuk sastra Jawa yang berkembang dari sastra Jawa Kuno. Sastra Jawa Antara dan sastra Jawa Islam dimulai dari Kerajaan Demak sampai tahun 1719. Istilah sastra Jawa Antara disebut pula masa Peralihan, yaitu masa Peralihan dari zaman Jawa Kuno ke masa Islam. Periode sastra Jawa Antara adalah periode masuknya Islam dalam karya-karya sastra Jawa yang dimulai dari abad ke-16 (Pustakawara t.t). Sastra Jawa Baru dimulai dari tahun 1749 yang merupakan masa pemerintahan Paku Buwana II sampai terbitnya novel karya R.B. Sulardi yang berjudul Serat Riyanto tahun 1920. Periode sastra Jawa Baru ini kemudian disebut sebagai periode Sastra Klasik. Selanjutnya, sastra Jawa Modern yaitu masa setelah terbitnya Serat Riyanto sampai dengan saat ini.Berdasarkan periodenya, perkembangan sejarah sastra Jawa terbagi dalam empat periode, yakni periode Pra-Islam, dimulai tahun 900-1500 Masehi. Periode Jawa-Bali, dimulai tahun 1500 M. Periode Pasisiran dari tahun 1500 M, dan Periode Renaisans dimulai dari pertengahan abad ke-17 (Pigsaud, 1970). Adapun secara tematis, Pigeaud (1970) mengelompokkan sastra Jawa dalam tema-tema, yaitu agama dan etika, sejarah dan mitologi, sastra, ilmu, seni, humaniora, hukum, folklor, dan adat. Sementara itu, pujangga- pujangga terkenal pada masa Sastra Jawa Klasik di antaranya adalah Yasadipura I, Yasadipura II, Sindusastra, Kusumadilaga, Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Ki Mangunwijaya, Ki Padmasusatra, R. Sasra Suganda, dan K.R.T. Tandhanegara. Di samping itu, terdapat pula Paku Buwana IV dan Paku Buwana IX serta Mangkunegara IV. 

Dalam sejarah sastra Jawa tampak bahwa agama Islam mulai menyentuh ranah sastra pada abad ke-14. Dengan demikian, karya- karya sastra Jawa yang dihasilkan pada akhir masa Kerajaan Majapahit sudah mulai terpengaruh agama Islam. Pengaruh awal agama Islam terhadap karya sastra Jawa pada masa awal dapat dilihat pada karya-karya sastra Jawa Antara (Rochkyatmo, 2010:11) . Adapun jenis-jenis karya sastra yang dihasilkan pada masa tersebut adalah suluk, wirid, dan primbon. Karya-karya tersebut mula-mula dihasilkan di daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa sebagai daerah pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Pada abad ke-17 hingga awal

abad ke-19 sastra suluk memasuki khasanah sastra di istana Kartasura dan Surakarta (Pigeaud, 1970)

Agama Islam berkembang dan masuk dalam karya-karya sastra selain genre suluk sesuai dengan perkembangan agama Islam yang makin subur di Kerajaan Mataram Islam. Dimungkinkan transformasi budaya Islam dengan budaya Jawa yang pada mulanya sangat subur pada zaman Jawa Antara dan makin berkurang pada zaman selanjutnya. Perkembangan budaya Islam serta transformasi yang terjadi tampak pula pada genre karya-karya sastra selain karya sastra suluk, wirid, dan primbon. Misalnya, pada karya sastra wulang, niti, babad, dan cerita wayang.

Karya sastra merupakan cerminan realitas budaya pada waktu karya sastra tersebut diciptakan. Realitas tradisi Islam-Jawa dalam budaya Jawa sampai sekarang masih berlangsung walaupun pada kalangan tertentu terjadi perdebatan (Muslich, 2006). Secara historis masuknya Islam di Jawa bersamaan dengan munculnya naskah- naskah Jawa Klasik yang berbentuk serat piwulang, usada, dan serat berisi tentang mistik Jawa seperti Kidung Purwajati dan adat-istiadat lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari dialektika nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa oleh para wali dan kedekatannya dengan penguasa di Jawa. Peran Kasunanan Surakarta dalam menginternalisasikan budaya lokal dan nilai-nilai Islam melahirkan sistem tata nilai dan adat-istiadat serta istilah kepustakaan Islam, Kejawen, Sekaten, serta gelar-gelar kehormatan. Gelar kehormatan seperti Abdurrahman Syaidin Panatagama, wali mukmin adalah bukti konkret bias dialektika budaya lokal dalam ajaran Islam (Muslich, 2006).

Karya-karya Paku Buwana IV dan Mangkunegara IV seperti halnya karya-karya Yasadipura I dan II, serta karya-karya pada masa pemerintahan Panembahan Seda Krapyak banyak mempertemukan tradisi-tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam. Hal itu menyebabkan karya-karya tersebut dimasukkan dalam Kapustakan Islam Jawa. Pada masa pemerintahan Paku Buwana IV telah terjadi perubahan sikap keagamaan di Kasunanan Surakarta yang lebih berorientasi kepada pemerintah. Ajaran Islam kembali didasarkan pada Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW dengan melalui sebuah proses (Muslich, 2006).

Perubahan budaya yang terjadi tersebut sangat mempengaruhi isi karya sastra Jawa Klasik sehingga nilai-nilai yang ada cenderung mengalami transformasi yang tampak pada adaptasi dan juga kreativitas. Transformasi tampak secara eksplisit dari kalimat-kalimat yang mendukung teks maupun secara implisit dari makna dan juga kalimat-kalimat yang mendukung teks. Tulisan ini akan mengupas tentang transformasi Islam Jawa dalam Sastra Jawa Klasik  dengan sampel teks Serat Kidungan Purwajati dan Serat Wulang Dalem Warni Warni.

Islam dalam Konstelasi Kebudayaan Jawa

Dalam budaya Jawa mitos magi-religi, mistik, dan ilmu pengetahuan bercampur dan hidup berdampingan. Unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi dan membentuk peradaban khas Jawa. Hal ini berlangsung cukup lama dan membudaya yang merupakan dialektika masyarakat Jawa dengan berbagai pengaruh agama Islam. Pengaruh agama Islam dan kebudayaan Hindu-Budha pada awalnya terbatas di kalangan bangsawan. Lambat laun menyebar di kalangan masyarakat secara luas selama berabad-abad. Pada saat pengaruh agama Hindu-Budha mulai surut, agama Islam datang dengan membawa pengaruh kebudayaan.

Ciri religiusitas Jawa adalah transformasi akulturasi sinkretisme yang bermakna penggabungan dari berbagai aliran keagamaan yang terjadi secara spontanitas ataupun karena pengaruh penguasa (Koentjaraningrat, 1984). Istilah sinkretisme tersebut disebut sebagai mozaik yaitu tempelan yang mempunyai pola tetap namun unsur-unsurnya berubah dengan masuknya budaya baru (Abdullah, 1986). Istilah sinkretisme sering diartikan dengan akulturasi dalam bentuk adaptasi dan kreativitas.

Pada masa Kerajaan Demak, karya sastra memiliki orientasi serta kecenderungan pada paradigma sejarah. Hal ini berbeda dengan karya sastra pada masa Kerajaan Mataram Islam yang lebih berorientasi pada paradigma mistik (Buchori, 2012). Menurut Abdul Jamil, di wilayah Kerajaan Pesisiran orientasi paham keagamaan lebih cenderung bersifat legalistik. Sedangkan, di wilayah pedalaman muncul mistik (Jamil, 2000). Munculnya sifat mistik di daerah pedalaman disebabkan di wilayah tersebut terjadi percampuran antara budaya Islam dengan budaya-budaya yang sudah ada sebelumnya, seperti Hindu dan Kejawen, yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat (Simuh, 1980).

Para penyebar agama Islam bukan hanya memberi kesempatan terhadap budaya yang sudah ada untuk tetap dilaksanakan oleh masyarakat, tetapi juga mengadopsi budaya setempat. Secara historis, masuknya Islam di Jawa serta munculnya naskah-naskah Jawa seperti wirid, primbon, suluk, niti, piwulang, menak, panji, babad adalah wujud dialektika nilai-nilai Islam yang dibawa para wali yang merupakan tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dan dekat dengan penguasa di tanah Jawa. Hal itu menimbulkan pergeseran paradigma keagamaan di Kasunanan Surakarta yang merupakan basis kebudayaan Jawa.

Peran Sunan dan para pujangga yang telah mendapat tempaan ajaran Islam melalui para wali atau guru pesantren berpengaruh besar pada terjadinya paradigma keagamaan yang dianutnya. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya perpaduan yang melahirkan peradaban Jawa Tengah yang berpusat di Istana Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Peradaban ini secara umum disebut sebagai Kejawen (Mulder, 2001)

Kejawen sebenarnya adalah kepercayaan yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran tentang kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap mitos-mitos, yang dilambangkan dalam simbol- simbol. Ajaran-ajaran konsep Kejawen tersebut dijadikan pandangan atau filsafat hidup orang Jawa. Pandangan bahwa Jawa merupakan pandangan secara keseluruhan tentang realitas hidup empirik dipadu dengan religiusitas (Muslich, 2006)

Menurut catatan sejarah, di sekitar tahun 1700 Belanda-lah yang sesungguhnya berkuasa di Nusantara. Para raja memerintah tanpa kedaulatan, banyak di antara para pangeran dan orang terkemuka yang tidak sudi menyerah begitu saja dan berusaha terus untuk membebaskan diri dari tekanan kompeni (Soekmono, 1981). Keadaan sosial budaya yang demikian melandasi lahirnya karya-karya sastra Jawa yang masih mencerminkan kekentalan pemikiran khas Jawa.

Keadaan masyarakat Jawa digambarkan mempunyai sisi sifat budaya yang adaptif. Mitos, magis, religi, mistik, dan ilmu pengetahuan bercampur aduk dan hidup berdampingan dalam suasana damai di masyarakat Jawa. Kemudian, unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi, dan akhirnya membentuk sebuah peradaban khas Jawa.

Ciri yang menonjol dari religiusitas Jawa adalah sinkretisme dan/atau akulturasi yang berdampak pada transformasi. Masuknya agama Hindu, Budha, Islam, Protestan, dan Katolik di Jawa memberikan pengaruh besar terhadap pemahaman keagamaan mereka sehingga terjadilah transformasi budaya dan agama. Berbagai kepercayaan pra-Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, mitos-mitos terhadap makhluk halus, dan upacara ritual pra-Islam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunitas keraton.

Dengan adanya pengaruh besar dari berbagai macam agama yang datang di Jawa terjadilah pergeseran paradigma keagamaan bagi masyarakat Jawa. Pemujaan terhadap nenek moyang mengalami pergeseran menjadi penghormatan kepada nenek moyang. Sifat sinkretisme pada keadaan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah agama Jawi.

Keraton Surakarta merupakan basis kebudayaan Jawa. Pada masa itu juga terjadi pergeseran paradigma keagamaan. Peran sunan dan para pujangga yang telah mendapat tempaan ajaran Islam melalui para wali atau guru pesantren berpengaruh besar pada terjadinya paradigma keagamaan yang dianutnya (Muslich, 2007). Namun demikian, masyarakat Jawa tetap mempunyai pandangan dunia yang disebut sebagai pandangan dunia Jawa.

Terkait dengan pandangan di atas, maka pusat perhatian kepustakaan Jawa Klasik abad ke-17 sampai abad ke-19 adalah adanya keakuan setiap manusia yang manunggal dengan dasar Ilahi dari mana ia berasal. Jika keadaan itu tercapai, pandangan dunia Jawa telah mencapai dimensi yang paling mendalam. (Suseno, 1996). Keadaan ini disebut sebagai manunggaling kawula Gusti.

 

  Transformasi Islam Jawa dalam Serat Kidungan Purwajati

Serat Kidungan Purwajati selanjutnya disingkat SKP adalah salah satu karya sastra Jawa Klasik berbentuk wirid. Transformasi  yang tampak pada SKP adalah transformasi yang tampak dari untaian kata dan kalimat sehingga secara eksplisit dapat terlihat adanya adaptasi sekaligus kreativitas penciptanya. Transformasi agama Islam dalam teks SKP merupakan transformasi bahan sumber tanpa sepengetahuan penulis, di dalam teks, dari mana bahan tersebut berasal, tetapi tanpa upaya khusus penulis untuk menyamarkan sumbernya. Bentuk transformasi teks Islam Jawa terdapat dalam salah satu teks SKP yang berjudul Kidung Rumeksa ing Wengi. Salah satu bait dalam SKP berupa sebuah tembang yang sangat terkenal berjudul Sawabing Nabi Wali. Adapun petikan bait tersebut adalah:

Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing Iara, luputa bilahi kabeh, jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunaning wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirna.

Adapun terjemahannya adalah :

Adalah Kidung penjaga malam, yang membuat tetap aman terhindar dari sakit, dari hal yang membahayakan, jin setan tidak akan mau, teluh tidak akan berani, semua perbuatan buruk, guna- guna tidak akan mempan, api seperti halnya air, pencuri tidak akan dapat berhasil, guna guna pun akan hilang.

             Transformasi yang muncul pada tembang Kidung Rumeksa Ing Wengi ini terdapat pada jalinan kata kata dan kalimat teks. Kidung ini biasanya dibaca dan dinyanyikan oleh masyarakat pada malam hari agar selamat dari penyakit, mala petaka, gangguan jin, setan, sihir, perbuatan jahat, guna-guna, api, pencuri, dan segala bahaya. Berdasarkan jalinan kata dan kalimat maka tampak bahwa teks ini merupakan adaptasi dari Al-Quran surah mu’awidatain (dua perlindungan), yaitu Alfalaq dan Annas.

Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh; dari kejahatan makhluk-Nya; dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita; dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul; dan kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki” (Q.S. Alfalaq).

Aku berlindung kepada Tuhan manusia: Raja manusia: Sembahan manusia; dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi; Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia; dari jin dan manusia” (Q.S. Annas).

Transformasi Islam yang sangat jelas juga tampak pada teks: Napasingsun Nabi Isa luwih, Nabi Jakub pamiyarsaningwang. Yusuf ing rupaku mangke, Nabi Dawud swaraku, Hyang Suleman kasekten mami, Ibrahim nyawaningsun, Idris ing rambutku.

Artinya: Napasku Nabi Isa as, Nabi Yakub mataku, Yusuf wajahku, Nabi Dawud suaraku, Nabi Sulaiman kesaktianku, Nabi Ibrahim nyawaku, Idris rambutku,

Penyebutan nama-nama Nabi seperti Nabi Adam, Nabi Syis, dan Nabi Musa dengan kualifikasi masing-masing dalam Kidung Purwadjati ini menunjukkan adanya transformasi dan akulturasi Islam. Nabi Adam beberapa kali disebutkan dalam Al Qur’an. Nabi Adam dan istrinya, Hawa terjerumus tipu daya setan mencicipi buah yang dilarang oleh Allah (Q.S. Al A’raf: 22). Kemudian menerima taubat Adam dan Hawa, dan memerintahkan keduanya keluar dari surga dan turun ke bumi (Q.S. Al A’raf: 24) Nabi Musa dikenal dengan kalimullah. Beliau satu- atunya Nabi yang bergelar kalimullah, yang berarti orang yang diajak bicara langsung oleh Allah di dunia. Nabi Isa dikenal dengan ruhullah yang artinya ruhullah adalah ruh Allah. Demikian itu karena Nabi Isa dikaruniai Allah ruhulqudus. Disebutkan dalam Q.S. Al Maidah ayat 110:

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus.

Dalam teks disebutkan Sawabing Nabi Wali salah satu baris menyebutkan Yusuf ing rupaku mangke, yang artinya Yusuf rupaku. Ketampanan Nabi Yusuf bahkan mampu membuat para wanita terpesona saat melihatnya dan sampai ada yang kehilangan akal sehatnya karena tidak mampu berkata apa-apa lagi (Q.S. Yusuf Ayat 31). Nabi Sulaiman dikenal sebagai nabi yang mempunyai banyak kelebihan. Nabi Sulaiman merupakan seorang pemimpin suatu kerajaan dengan bala tentara dari golongan jin, manusia, dan hewan (Q.S. An-Naml: 20). Adapun kalimat Ibrahim kang nyawaningwang atau Nabi Ibrahim nyawa rangkapku merupakan adaptasi dari kisah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dalam menjalankan dakwahnya mendapatkan tentangan keras dari kaumnya, bahkan pernah dibakar karena Nabi Ibrahim menghancurkan patung berhala milik kaumnya. Selanjutnya  disebutkan    dalam    teks     Serat    Kidungan Purwajati, Idris ing rambutku, yang artinya Idris di rambutku, merupakan adaptasi dari kisah Nabi Idris yang dikenal sebagai seorang ilmuwan, cerdas, dan berpengetahuan luas. Nabi Idris mewariskan banyak pengetahuan. Rambut berfungsi melindungi kepala yang di dalamnya terdapat organ vital berupa otak. Tafsir Jalalain menyebutkan bahwa orang pertama yang bisa menulis adalah Nabi Idris.

Transformasi Konsep Kekuasaan Islam Jawa dalam Serat Wulang Dalem Warni Warni

Transformasi Islam Jawa dalam teks klasik lain adalah transformasi yang terdapat pada teks wulang. Adapun teks wulang yang dijadikan bahan kajian adalah transliterasi naskah Wulang Dalem Warni-Warni (SWDWW)Transformasi Islam-Jawa SWDWW tampak setelah teks diteliti lebih dalam. Pada pengungkapan makna teks tampak bahwa terdapat konsep kekuasaan Islam-Jawa yang merupakan pesan teks. Untuk dapat mengetahui makna yang dapat disebut sebagai objektif, digunakan teori teks dan konteks dari Seung (1982). Teks hanya dapat terjadi dalam domain pembaca. Posisi ini bisa disebut sebagai subjektivitas tekstual atau solipsisme. Objektivitas teks dibenamkan ke dalam subjektivitas pembaca (Seung, 1982).

Untuk mengontrol validitas makna teks menggunakan validitas semantik karena posisi pembaca sebagai agnotiksisme tekstual, yaitu pembaca yang tidak pernah mampu menjangkau dan menggenggam teks sebagai realitas objektif. Wilayah objektivitas tekstual merupakan suatu wilayah yang terhampar jauh di luar jangkauan pembaca mana pun (Seung, 1982).

Dari pembacaan yang dilakukan konsep kekuasaan Islam- Jawa yang tampak pada SWDWW adalah: adanya konsep legitimasi untuk pengesyahan kekuasaan dimana legitimasi ini melalui wahyu dan derajat, kemudian konsep tentang sangkan paraning dumadi, nista madya utama, dan keistimewaan. Berdasarkan konsep konsep yang dijabarkan tersebut tampak adanya transformasi akulturasi Islam dengan budaya Jawa. 

Legitimasi sebagai Konsep Pengesahan Kekuasaan

Legitimasi tumbuh dari sistem nilai budaya dan moral. Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga atau masyarakat. Sistem nilai budaya yang terbentuk tersebut karena adanya pemahaman masyarakat yang terus-menerus dilakukan terhadap fenomena budaya tempatan yang ada. Hubungan legitimasi dan kebudayaan erat, hal ini terjadi karena kebudayaan juga melegitimasi kekuasaan (Maliki, 2004).

Dalam suatu masyarakat Jawa, legitimasi merupakan sesuatu konsep yang berarti pengesahan terhadap suatu kelembagaan, kekuasaan atau eksistensi supaya masyarakat, rakyat, pengikut, menjadi yakin akan hak atas kekuasaan pemimpinnya. Dengan demikian, akan terjadi dukungan dan kepatuhan yang dilakukan oleh para pengikutnya. Untuk memimpin secara efektif, pemimpin harus meyakinkan orang lain bahwa mereka “pantas” untuk memerintah (Rayner, 2004).

Dalam sejarah Jawa, legitimasi menjadi penting. Legitimasi tampak pada cerita yang terjadi dalam Babad Tanah Jawa, seperti cerita tentang raja-raja Jawa yang merupakan keturunan para Nabi dan pewayangan, cerita tentang raja yang merupakan keturunan dewa, cerita tentang wahyu kedaton yang dimiliki oleh Ken Dedes dan cerita-cerita mitos tentang kesaktian ataupun kekuatan tokoh- tokoh atau raja-raja Jawa (Soeratman, 1990). Dalam SWDWW legitimasi dicapai melalui  Wahyu  Dalam   Islam,   wahyu   adalah   petunjuk   dari   Allah   yang  diturunkan hanya kepada para Nabi atau Rasul melalui mimpi dan sebagainya. Konsep tersebut diadaptasi secara kreatif dalam SWDWW bahwa wahyu disebut sebagai sesuatu yang diberikan oleh Allah S.W.T. untuk mengayomi pejabat dan penguasa sepanjang kekuasaannya. Hal itu tampak seperti pada kutipan teks pupuh 1 bait 26:

Maring ingkang pinuja pinuji-piji/ jeng Maha Iswara/ rahayu wahyu ngayomi/ lir yuswa dirganing warta//

Artinya:

Terhadap yang dipuja dan dipuji/ Sang Maha Iswara/ selamat karena diayomi oleh wahyu yang mengayomi/ sepanjang kehidupannnya//.

 

Disebutkan pula bahwa kewibawaan seorang raja terkait dengan ridha dari Allah SWT. Wahyu didapatkan oleh seorang raja karena ada tekad yang kuat, terdapat pada teks pupuh 1 bait 29. Untuk mendapatkan wahyu dibutuhkan syarat-syarat yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang berkehendak mendapatkan wahyu.

 

  1. Membiasakan untuk bergaul dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi.

Pembiasaan yang dilakukan untuk bergaul dengan orang- orang yang berkedudukan tinggi tampak pada petikan teks Swdww pada pupuh 4 bait 22. Cara pemerolehan wahyu seperti di atas merupakan cara yang tidak biasa ditempuh dalam masyarakat  Jawa.    Hal in idikarenakan  masyarakat   Jawa mempunyai tradisi kudu bisa nepakake awake dhewe, yang artinya harus bisa menempatkan diri. Barangkali konsep ini merupakan konsep yang lahir di masa penjajahan dengan  Belanda. Orang yang dekat dengan penguasa akan dapat menempati posisi kekuasaan. Di masa sekarang konsep tersebut justru banyak dilakukan.

  2. Sabar, menjaga perbuatan yang baik, serta tidak mudah tergoda oleh wanita cantik.

Kesabaran dan perbuatan baik merupakan syarat untuk mendapatkan wahyu. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa seorang yang mendapatkan wahyu adalah orang yang baik.

Disebutkan pula bahwa wahyu akan didapatkan bagi orang yang baik dan sabar dalam menanti datangnya wahyu, wahyu ditunggu dengan sabar. Sesuai dengan prosesnya, pernyataan tersebut tampak pada teks pupuh 8 bait 11. Untuk mendapatkan wahyu dan mampu menerima wahyu, seorang calon pemimpin atau calon raja harus mempunyai kelakuan yang baik. Apabila pemimpin atau calon raja tersebut berbuat jahat, keberkahan dari Tuhan akan hilang karena wahyu identik dengan petunjuk, berkah, dan kebaikan. Wahyu bersifat non-fisik, batin dan tidak kasat mata (Bayuadhy, 2015).

  1. Rajin menghadap pimpinan.

Disebutkan pula dalam teks bahwa jika seseorang berkeinginan untuk menjadi pemimpin atau menduduki jabatan, orang tersebut harus berusaha dengan cara mendekat kepada para pemimpin atau penguasa yang sedang berkuasa dan bergaul dengan mereka. Secara logis hal itu memang satu strategi yang sangat baik karena dengan dikenal oleh pejabat dan penguasa maka orang ini akan menjadi orang yang dekat dengan kekuasaan. Setelah orang tersebut dapat dipercaya dan mampu secara terus- menerus melaporkan pekerjaan dengan cara tatap muka atau menghadap tentu hal ini akan menjadikan hubungan antara penguasa atau pejabat dengan orang tersebut menjadi dekat. Kedekatan ini merupakan kunci untuk mendapatkan kekuasaan, seperti teks pupuh 9 bait 21.

  1. Orang tua tak henti memanjatkan doa sejak putranya masih dalam kandungan.

Senantiasa berdoa kepada Tuhan, memuji Rasulullah serta memohon doa dari para leluhur. Doa-doa tersebut dipanjatkan agar kelak akan lahir pemimpin yang mendapatkan wahyu.

  1. Berbakti pada orang tua.

Berbakti pada orang tua sangat penting, seorang putra raja yang tidak berbakti pada orang tuanya tidak akan mendapatkan berkah wahyu. Seperti pada teks pupuh 6 bait 10-11.

  1. Melakukan tapa, rajin bersedekah, dan membantu orang lain.

Untuk mendapatkan wahyu seseorang harus rajin melakukan tapa, bersedekah dan membantu masyarakat lain. Orang yang melakukan kebaikan tersebut maka orang lain akan senang, sehingga akan didoakan orang-orang sehingga wahyu akan turun. Hal tersebut terdapat dalam teks pupuh 8 bait 10,

Berdasarkan teks, perjuangan untuk memperoleh wahyu tidak ringan, semuanya harus diupayakan baik melalui laku tapa, maupun berdoa secara terus menerus kepada Tuhan. Usaha memperoleh kekuasaan atau wahyu pada masyarakat Jawa dilakukan melalui praktik-praktik yoga dan bertapa yang sangat keras. Praktik- praktik yoga ini misalnya berpuasa, tidak tidur, bersemedi, tidak melakukan hubungan seksual, dan mempersembahkan berbagai sesaji (Saksono, 2014).

Konsep wahyu dalam kekuasaan Jawa yang tampak pada serat-serat wulang merupakan konsep yang menunjukkan dialektika Islam Jawa, karena karya ini lahir dari patron istana Jawa. Konsep wahyu dalam agama Islam merupakan jalur khusus dan rahasia yang menghubungkan antara Tuhan dengan manusia-manusia pilihan (nabi dan rasul). Tuhan menurunkan wahyu yang mengandung pengetahuan, hukum-hukum dan undang-undang ke dalam hati nabi dan memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan kepada seluruh umat manusia.

Derajat

Derajat merupakan fitrah setiap manusia, derajat diibaratkan sebagai tangga yang memiliki banyak anak tangga. Dimensi manusia bisa naik ke tempat yang lebih tinggi dan

turun ke tempat yang lebih rendah. Pada konsep kekuasaan Islam-Jawa dalam teks kaji, untuk dapat menjadi raja atau pemimpin harus mempunyai derajat.

Dalam sejarah kekuasaan di Jawa, biasanya seorang raja adalah seseorang yang mempunyai darah keturunan raja terdahulu, dengan demikian keturunan raja merupakan orang-orang yang mempunyai derajat. Penanda derajat seseorang di keraton tampak pada gelar yang disandangnya seperti Kanjeng Gusti Pangeran Harya. Kanjeng Gusti Pangeran, Raden Mas Gusti, Kanjeng Gusti Pangeran, Bendara Raden Mas. Dalam Serat Angger-Angger Tatakrama SK 37, derajat juga ditunjukkan dari busana formal yang digunakan, seperti busana untuk raja berbeda dengan busana untuk pangeran, abdi dalem panewu mantri, panajungan dan bupati anom. Pada Serat Tatakrama Kedaton PBA 58 juga dijelaskan perbedaan busana basahan untuk para pangeran, patih, panewu mantri, bupati, wedana kliwon. Perbedaan busana tersebut meliputi jenis busana yang dipakai, aksesoris, senjata dan para pemakainya. Perbedaan tersebut untuk menunjukkan derajat orang yang memakainya.

 Dalam agama Islam pemahaman tentang derajat disampaikan dalam surat Al-Baqarah (2: 253), surat Ali Imran (3:161- 163), surat Annisa (4:495-496), surat Al-An’am (6:132), surat Al- Mukmin (40:14-15). Pada surat Al-An’am (6:132). Pada ayat tersebut, kata derajat dikaitkan dengan amal perbuatan dan bekerja. Kedudukan yang tinggi bisa diperoleh dan didapatkan manusia bila manusia tersebut bekerja dan berbuat. Dalam konsep kekuasaan Jawa penguasa adalah orang yang mempunyai derajat yang tinggi. Pada teks SWDWW derajat dibedakan atas, derajat yang diperoleh karena anugrah , orang yang beruntung seperti pada pupuh 7 bait 8, Ywang Manon kang amêngku/ marang uripé manungsa tuhu/ ingkang padhang anglimput pêtêng sayêkti/ panas ngilangkên dhêmipun/ mangkono martabating wong// yanga artinya: Tuhan yang berkuasa/ kepada kehidupan manusia/ yang nyata terang menutupi kegelapan/ yang panas menghilangkan dingin/ begitu derajat manusia//

Anugerah yang diperoleh manusia sehingga derajatnya akan naik, akan mampu mengubah kehidupannya dari keadaan biasa menjadi luar biasa seperti keadaan terang yang secara tiba-tiba menutupi kegelapan dan keadaan panas yang mengubah dari keadaan dingin seperti teks di atas. Dalam masyarakat Jawa anugerah derajat sangat dinantikan. Dalam teks disebutkan bahwa derajat dapat diperoleh dari doa para abdi. Doa para abdi, pembantu dan rakyat jelata untuk penguasa bersifat makbul, dalam teks pupuh 2 bait 4, disebutkan:

Sanadyan para parêkan/ bêcik sinungan mêmanis/ yèn jangkêp wong kawandasa/ padha lan wali sawiji/ sanadyan sudra miskin/ yèn siniya nora arus/ utama winêlasan/ mimbuhi darajat yayi/ prayogané aywa na kang ginêthingan//

Artinya:

Walaupun para abdi/ dengan sangat baik memohon/ jika berjumlah empat puluh/ seperti doa satu orang wali/ walaupun orang hina dan miskin/ tidak sepantasnya jika diperlakukan tidak baik/ lebih utama dikasihani/ akan menambah derajatmu adikku/ sebaiknya jangan ada yang dibenci//

Berdasarkan teks di atas, dinyatakan bahwa doa abdi, rakyat yang berjumlah 40 kualitas, dan kekuatannya sama dengan doa seorang wali. Doa-doa tersebut akan menambah derajat orang yang sedang didoakan.

Memahami Sangkan Paraning Dumadi

Sangkan paraning dumadi adalah filosofi Jawa yang bermakna dari mana asal dan kembalinya manusia. Sangkan paraning dumadi atau asal usul dan tujuan hidup manusia merupakan salah satu paham panteisme. Paham ini semakin jelas setelah diperkaya dengan budaya India (Musmon, 2017). Sangkan paraning dumadi dapat tercapai apabila manusia bersedia melawan segala godaan. Ilmu tentang sangkan paraning dumadi diterangkan Wali Sanga untuk memahami hakikat hidup. Ajaran wirid tentang hakikat hidup yang bijaksana terhadap kesempurnaan sangkan paran, kemudian dalam keadaan jati yang bersumber dari sabda Tuhan (Mahmudi, 2005).

Konsep sangkan paraning dumadi menunjukkan bahwa sangkan atau asal atau sumber manusia yang hakiki adalah Tuhan. Masyarakat Jawa memandang asal usul manusia adalah dari Tuhan. Tuhan dipandang merupakan zat yang sangat dekat dengan manusia, ia ada di hati manusia. Disebabkan oleh dekatnya maka manusia Jawa memberi sebutan nama-nama Tuhan sesuai dengan kekuasaannya. Penyebutan nama Allah sesuai dengan makna dan rasa bahasa yang dimiliki oleh masyarakatnya. Pada naskah tertulis penyebutan nama Allah dengan kata Widdi Hyang kang Murbeng Akiri Ywang Widdhi Hyang Maha Luhur, Ywang Manon,Hyang Agung, Ywang Maha Mulya, Hyang kang mongka eroh kemudhi isine cipta lan ripta, Hyang Suksma, Kang Maha Suci ,Hyang Widdhi, Hyang Ingkang Musiat Hyang Asung Coba. Nama-nama Tuhan tersebut dalam teks menunjukkan identitas kejawaan yang kental.

Memahami Konsep Nista, Madya, dan Utama

Kata nista berarti rendah, remeh untuk perilaku, kata madya berarti tengah atau sedang, kata utama berarti lebih dari yang disebut baik untuk perilaku. Perbuatan nista adalah perbuatan hina, madya adalah sedang, dan utama adalah yang terbaik. Perbuatan nista harus benar-benar dihindari. Perbuatan madya cukup dimengerti, sedangkan perbuatan yang utama harus diusahakan untuk dilaksanakan (Suyami, 2008). Dalam teks SWDWW disebutkan bahwa konsep nista, madya, dan utama merupakan konsep dasar perbuatan manusia sehingga hal itu merupakan sesuatu yang penting, seperti pada teks pupuh 26 bait 3

Agama iku parlu sayêkti/ pikukuhé têtimbanganing tyas/ mring nistha madya tamané/ mung iku rasanipun/ dalil kadis kang dèn sêmoni/ supaya animbanga/ sagunging pra ratu/ wadya kang sawalèng karsa/ pinrih sirêp saking kawasaning ngaji/ wêwaton kitab Kuran//

Artinya:

Agama itu sangat perlu/ menjadi penguat serta pertimbangan hati/ tentang nista madya utama/ hanya itu yang dirasakan manusia/ dalil hadits yang diajarkan/ supaya menjadi pertimbangan/ semua raja/ rakyat yang membantah keinginan raja/ diarahkan untuk mengaji/ melihat aturan-aturan dari kitab Al-Quran//

 

Dalam teks disebutkan bahwa apabila seorang wanita atau istri berpaling kepada laki-laki lain tidak jujur, berbohong, tidak menerima dengan ikhlas pemberian suami, sering marah, tidak berbakti, berani, tidak menghargai, lancang kepada suami, termasuk perbuatan nista. Ajaran tentang nista juga terdapat dalam Sastra Cetha. Rama mengajarkan kepada Bharata bahwa perbuatan nista itu misalnya sikap yang selalu khawatir dalam segala hal, pikiran yang selalu ikut-ikutan, menaruh prasangka kepada sanak saudara bangsawan, para punggawa maupun para mantri selalu menabur benih kebimbangan.

Pengertian nista madya, dan utama menurut Serat Aji Pamasa bahwa jika seorang raja memiliki sifat ingin memiliki harta benda milik rakyat atau para punggawa walaupun dengan cara membeli maka seandainya pemilik tidak senang, hendaknya niat itu diurungkan. Sikap nista merupakan sifat serakah dan bernafsu ingin memiliki. Konsep nista bagi abdi negara disampaikan oleh Ajar Sarabasata kepada putranya Sang Sasana, nista disebabkan oleh adanya mangrosirah atau plin plan, bandha sumitra atau harta benda milik orang lain, asarana paturan atau mengadukan kejelekan orang lain, makolehken awak atau mementingkan diri pribadi, sakuthu batin di dalam pikirannya merasa mendapat kepercayaan raja atau pemimpin, datan anetepi atau tidak menepati, iren meren atau iri dengki (Tejowirawan, 1987)

Konsep madya adalah konsep yang implikasinya berupa tindakan yang tidak menyimpang, mengikuti norma, aturan dan undang-undang, melaksanakan perintah atasan, dapat mengekang hawa nafsu untuk bertindak buruk, memberikan hak dan kewajibannya di dalam tanggung jawabnya serta tidak mempunyai maksud untuk mencelakai, membuat rugi maupun menipu orang lain. Perbuatan madya adalah menghindari perbuatan nista seperti tersebut di atas dengan pertimbangan yang masak, sedangkan perbuatan yang utama adalah bisa menguasai semua hal baik perbuatan buruk maupun yang baik (Suyami, 2008).

 

Mempunyai Kemampuan dan Keistimewaan

1. Sinunggama

Sinunggama berarti  dikaruniai keteguhan, kuatan, maupun tindak utama. Dalam konteks ini sinunggama diartikan sebagai seorang raja harus mempunyai watak ksatria, teguh, kuat, dan lurus dalam beragama. Dalam beragama raja harus menjaga ketahidan dan budayanya. Dicintai oleh rakyat karena akhlak serta budi pekertinya yang terpuji (Suharnowo, 2007).

Sinung Brata adalah perbuatan seorang raja atau pemimpin yang sangat besar melakukan laku tapa brata sehingga disebut mempunyai sifat atau kebiasaan melakukan laku. Berani dan kuat menyingkirkan hawa nafsu. Berjuang dengan gigih secara lahir batin untuk ketentraman, kesejahteraan dan kemajuan rakyatnya.

2. Sinung Praja

Seorang raja atau pemimpin yang disebut sinung praja adalah raja atau pemimpin yang mempunyai daerah kekuasaan dan pengaruh yang kuat terhadap rakyat maupun lingkungan masyarakatnya. Mampu mengelola daerah kekuasaan dengan adil dan bijaksana (Suharnowo, 2007).

Teks tersebut mengandung makna semangat pengabdian yang utuh seorang abdi negara, pemimpin harus loyal kepada negara, bangsa sehingga setiap waktu dan kesempatan pikiran dan tenaganya dicurahkan untuk memikirkan negara (Suratno, 2005)

3. Sinung Sudarsana

Sinung sudarsana artinya mempunyai kepribadian yang baik, bijaksana, mempunyai sopan santun dan etika yang baik (Suharnowo 2007). Pemimpin atau raja yang sinung sudarsana adalah pemimpin atau raja yang tidak sombong, selalu menyertakan kalbu atau suara hati agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi. Oleh karena itu, sikap adigang, adigung dan adiguna, aji mumpung dan aja dumeh harus dihilangkan. Ajaran tentang pengendalian sikap adigang, adigung, adiguna juga terdapat pada Serat Wedatama (Jatmiko, 2011). Pengendalian sikap adigang, adigung, adiguna akan menjadikan manusia menjadi rendah hati tidak sombong, selalu menghormati keberadaan orang lain, serta menyadari kekurangan dan kelebihan orang lain sehingga dapat menjadikan seseorang menjadi rereh atau sabar dan mampu mengendalikan diri, ririh yaitu tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan dan ngati-ati (Muslich, 2006)

Dalam agama Islam, menghindari sikap sombong terdapat pada Surat An-Nisa ayat 36. Ajaran agar manusia tidak sombong terdapat pula pada Surat An-Naml ayat 14.

4. Sinung Pinandhita

Raja atau pemimpin yang sinung pinandhita artinya mempunyai keutamaan seperti seorang pendeta yang linuwih (Suharnowo, 2007). menyebutkan bahwa sinung pinandhita menunjuk kepada raja atau pemimpin yang selalu waspada sehingga dapat mengekang hawa nafsu (Suharnowo, 2007).

Pada SWDWW dikemukakan agar berhati-hati terhadap kemat. Kemat adalah sesuatu yang enak dimakan dan enak dilihat. Kemat dalam konsep kekuasaan Islam disebutkan sebagai kesusilaan yang kurang dan penjagaan terhadap hawa nafsu yang tidak baik akan mejadikan penyimpangan moral (Al-Mawardi , 2018)

5. Sinung Bala

Sinung bala artinya senantiasa didukung oleh rakyat, dicintai sesama, karena itu sangat disenangi dan didukung oleh rakyat (Suharnowo, 2007). Seorang pemimpin yang sinung bala maka ia adalah seseorang yang mempunyai banyak teman, pandai bergaul dengan sesama dari berbagai tingkatan dan juga dengan ulama. Pergaulan sangat mempengaruhi perilaku orang, dibicarakan pula dalam Serat Piwulang Pakubuwana IV di dalam Serat Wulangreh (Muslich, 2006) terdapat bagian teks yang menyebutkan pentingnya bergaul dengan orang baik dan berbudi luhur.

6. Sinung Wignya

Disebutkan bahwa seorang raja atau pemimpin harus mempunyai berbagai kelebihan lahir maupun batin sehingga mendapatkan kewibawaan, mampu melindungi dan mengayomi rakyat (Suharnowo, 2007). Dalam teks SWDWW disebutkan bahwa seorang raja harus sinung wignya dalam ilmu dan ngelmu artinya pandai dalam ilmu pengetahuan dan terampil juga menguasai kearifan lokal yang dikuasai dengan laku.

Dalam agama Islam, pemimpin adalah teladan untuk yang dipimpin. Sebagai teladan tentu setiap perilakunya harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul. Demikian pula  harus memiliki ilmu agar orang-orang yang dipimpinnya bisa hidup dengan aman. Dalam surah Al-Mujaadilah Ayat 11 disebutkan bahwa Allah akan meninggikan orang-orang  yang berilmu dan beriman.

Kesimpulan

Berdasarkan transformasi yang tampak pada teks-teks sastra Jawa Klasik, yakni karya sastra wulang dan primbon dapat dibedakan adanya transformasi eksplisit pada kata dan kalimat serta transformasi makna yang implisit. Dalam transformasi tergambar adanya adaptasi sekaligus kreativitas penciptanya. Pada Serat Kidungan Purwajati transformasi terlihat melalui untaian kata dan kalimat, dimana konsep Islam diadaptasi secara utuh dalam teks Jawa dengan pemaknaan yang dikreasikan dengan kebudayaan setempat yaitu kebudayaan Jawa. Bagaimana orang Jawa menggambarkan manusia harus paham tentang nabi-nabi dalam agama Islam dituliskan melalui bagian-bagian tubuh manusia yang disimbolkan sebagai nabi-nabi tertentu. Keistimewaan nabi–nabi dalam pemahaman Islam, digambarken menjadi simbol peran penting dalam badan manusia.

 

(Disampaikan dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar UNY di Auditorium UNY, Desember 2023)