Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme

FBS-Karangmalang. Ada sejumlah kriteria yang layak disebut sebagai Sastra Hijau pada sebuah karya tulis baik prosa maupun puisi. Pertama-tama, bahasa yang digunakan banyak menggunakan diksi ekologi, isi karya dilandasi rasa cinta pada bumi, rasa kepedihan bumi yang hancur, ungkapan kegelisahan dalam menyikapi penghancuran bumi, melawan ketidakadilan atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi dan isinya (pohon, tambang, air, dan udara serta penghuninya–manusia), ide pembebasan bumi dari kehancuran dan implementasinya. Jadi, tidak hanya sekadar satire. Melainkan harus ada aksinya melalui ide-ide yang dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terhadap penghancuran bumi. Sastra Hijau memiliki visi dan misi penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak menjadi pemelihara merawat bumi (go green).

Demikian inti paparan Dra. Naning Pranoto, M.A., penulis dan pegiat Sastra Hijau dari Rayakultura State of Educationand Culture, Jakarta dalam seminar nasional bertajuk “Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme”. Seminar ini dilaksanakan di Ruang Seminar Gedung PLA (Pusat Layanan Akademik), Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) pada Jumat (28/11/2014). Seminar nasional yang dihadiri 350 peserta ini diprakarsai oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY dan dibuka secara resmi oleh Dekan FBS, Prof. Dr. Zamzani, M.Pd.

Selain Naning Pranoto, ajang silaturahmi ilmiah ini juga diramaikan oleh pembicara utama lainnya: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (dari UGM) yang menyampaikan makalah berjudul “Bahasa, Pluralisme, dan Multikulturalisme; dan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (dari UNY) dengan makalah berjudul “Dalam ‘Puisi Karawitan’ Narto Sabdo: Di Manakah Posisi Manusia?”. Dalam sesi pleno inilah suasana seminar tampak meriah yang ditandai dengan berbagai bertanyaan dari peserta dan diselingi canda tawa dari berbagai sisi paparan para pemakalah utama. Sidang pleno ini dipandu oleh Dr. Anwar Efendi, M.Si., dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Setelah Jumatan, seminar dilanjutkan dengan sidang paralel yang terbagi atas dua sesi. Ada tiga puluh pemakalah pendamping yang menyampaikan topik makalah yang beragam meski masih terkait dengan tema utama seminar, yakni bahasa dan sastra dalam perspektif ekologi dan multikulturalisme. Pembahasan tidak hanya terkait dengan bahasa dan sastra Indonesia, tetapi juga menyangkut bahasa dan sastra Jawa, Inggris, Arab, dan lainnya termasuk sejumlah kajian antropologi dan sosiologi. Para peserta, selain dari Yogyakarata, juga terwakili dari berbagai kota seperti: Kendari, Mataram, Malang, Surabaya, Surakarta, Semarang, Cirebon, Jakarta, Riau, bahkan Malaysia. Para peserta seminar bahkan lebih beragam lagi.

Salah seorang peserta, Henky yang berasal dari Flores dan kini bekerja di Digul, Papua bahkan turut meramaikan seminar ini dengan menginformasikan tentang marjinalisasi alam di tempatnya bekerja Digul karena eksploitasi ekonomi atau aspek kapitalisme. Pria yang kini ditugaskan untuk studi lanjut di Yogyakarta ini menanggapi secara antusias seminar ini, khususnya terkait dengan sastra hijau yang diusung dalam seminar ini. (Nur/HumasFBS)