Pengukuhan Guru Besar UNY, Prof. Dr. Sulis Triyono, M.Pd., dan Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum.

Keterangan Sumber Foto: 
Humas FBS UNY

 

P engukuhan Guru Besar UNY (0911/2020) Prof. Dr. Sulis Triyono, M.Pd., sebagai (Guru Besar Linguistik Terapan, dan Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. sebagai Guru Besar Ilmu Sastra Modern.
.Pidato Pengukuhan dilangsungkan hari Sabtu, 7 Nopember 2020 pukul 09.00-11.00 WIB di Auditorium UNY, dengan protokol kesehatan Covid 19.

Prof. Wiyatmi, Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Indonesia.adalah Guru Besar ke-164 Univrsitas Negeri Yogyakarta.  Dalam pidato pengukuhannya, ia mengatakan bahwa "Ilmu sastra dan ilmuwan sastra ikut berperan dalam memahami dan memecahkan masalah sosial, terutama ketidakadilan gender dan degradasi lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita, dua hal tersebut saling berkaitan karena ketidakadilan gender dapat menimbulkan degradasi lingkungan hidup. Sebaliknya degradasi lingkungan hidup yang disebabkan oleh ketidakadilan gender akan lebih memarginalkan perempuan. Ilmu sosial humaniora yang berkecimpung dalam kedua masalah tersebut dikenal dengan istilah feminisme dan ekofeminisme.Demikian dikatakan Prof Dr Wiyatmi MHum dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sastra Modern pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Pidato berjudul ‘Peran Sastra dalam Upaya Penyadaran Keadilan Gender dan Keadilan Ekologis: dari Feminisme ke Ekofeminisme, dibacakan dihadapan rapat terbuka Senat, di Auditorium UNY,

Prof. Sulis Triyono, dalam pidatonya mengungkapkan bahwa pemahaman yang baik pada sebuah wacana tulis maupun lisan diperlukan pemahaman literasi yang baik pula. Literasi yang baik diperlukan pembudayaan tidak sekedar menguasai kemampuan baca dan tulis saja, melainkan pemahaman akan keseluruhan aspek mulai dari teks, koteks, dan konteks yang berkembang secara pesat di masyarakat. Pemahaman harus berorientasi pada pengembangan aspek kebahasaan yang selalu mengkaitkan dengan unsur-unsur tautan situasi atau sosial termasuk penutur, tempat, waktu, dan budaya, sehingga cenderung mengarah pada pandangan yang bersifat fungsional dan mementingkan aspek kebermaknaan. Dengan demikian, bahasa dapat mengikat manusia pemakai bahasa yang bersangkutan menjadi suatu anggota masyarakat yang kuat penuh dengan dinamika sosial. Pembelajar bahasa Jerman sebagai bahasa asing harus mampu menguasai budaya agar kendala belajar bahasa asing akibat adanya perbedaan bahasa dan budayanya dapat dieliminir.(drsa)