Kunjungan Universitas Dwijendra Bali ke PBD dan PBSI

FBS-Karangmalang. Belum lama setelah menerima kunjungan dari Institut Hindu Dharma Negeri Bali beberapa waktu lalu, jurusan Pendidikan Bahasa Daerah kembali menyambut kedatangan mahasiswa dan dosen  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Dwijendra Bali (20/5).

Berbeda dengan kunjungan dari universitas sebelumnya yang hanya disambut oleh mahasiswa dan dosen jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, pada kunjungan kali ini tamu disambut pula oleh jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Acara yang diselengarakan di Ruang Seminar Gedung Pusat Layanan Akademik (PLA) FBS tersebut diisi dengan kuliah umum. Hadir sebagai pembicara Dr. Maman Suryaman, M.Pd. selaku dosen PBSI dan Drs. Hardiyanto, M.Hum. dosen PBD. Keduanya memaparkan materi terkait pengajaran bahasa dan kurikulum 2013.

Dalam pemaparannya, Dr. Maman Suryaman, M.Pd. menekankan pentingnya pengajaran, “Eksistensi bahasa Indonesia dan bahasa daerah memiliki peranan penting dalam pengembangan literasi bangsa. Bangsa yang literasinya lemah akan berdampak pada kepribadian bangsa yang lemah pula.”

Pembahasan tidak hanya berhenti pada pengajaran bahasa saja. Kuliah umum tersebut juga mengupas kebijakan kurikulum 2013 yang meniadakan pengajaran bahasa daerah di tingkat sekolah. Sistem pengajaran bahasa daerah di sekolah dilakukan secara tematik integratif, sehingga pengajaran bahasa daerah akan digabungkan dengan mata pelajaran Seni Budaya. Hal ini menyulitkan pihak pengajar dalam aplikasinya di lapangan.

Sebagaimana yang dipertanyakan oleh Dra. Sri Harti Widyastuti, M.Hum. dosen PBD, “Mata pelajaran bahasa daerah tidak dimasukkan secara eksplisit dalam kebijakan kurikulum 2013. Pengajaran bahasa daerah yang digabungkan dengan Seni Budaya, Prakarya, dan mulok (muatan lokal) sangat membingungkan pengajar dalam aplikasinya di lapangan. Apakah kami harus mengajar menari dengan menggunakan bahasa daerah sedangkan di sisi lain tidak semua guru Tari bisa berbahasa daerah,” tuturnya.

Kondisi tersebut kemudian membuat para mahasiswa atau pun dosen dan pengajar bahasa daerah di Yogyakarta termasuk FBS tidak bisa berdiam diri, perjuangan untuk mempertahankan bahasa daerah pun dilakukan. Hal yang sama pun dilakukan oleh pihak Universitas Dwijendra yang bergabung dalam Aliansi Pencinta Bahasa Daerah di Bali untuk memperjuangkan posisi bahasa daerah.

“Kami sudah menemui Gubernur Bali dan meminta agar pengajaran bahasa daerah khususnya bahasa Bali tidak ditiadakan. Karena ada ketakutan jika bahasa daerah tidak diajarkan maka akan terjadi kepunahan dan perjuangan kami pun terjawab setelah muncul kebijakan dari wamen (wakil mentri) yang mengatakan bahwa pengajaran bahasa di tiap daerah menjadi kebijakan masing-masing daerah tersebut dan pemerintah Bali telah memutuskan untuk tetap memasukkan pengajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah,” ujar Dr. I Ketut Suar Adnyana selaku dekan FKIP PBSI.

Usaha untuk meningkatkan mutu pengajaran bahasa dan perjuangan mempertahankan pengajaran bahasa daerah di dunia pendidikan tentu tidak berlebihan mengingat bahasa merupakan instrumen penting dalam budaya dan kebudayaan adalah alat identifikasi jati diri sebuah bangsa sehingga peningkatan mutu pengajaran bahasa dan usaha pelestarian bahasa daerah  perlu dilakukan. (Djwonga/Humasfbs)