Kisah Kekacauan Sebelum Kiamat di Stage Tari

FBS-Karangmalang. Saat susunan tatasurya (kosmos) sedang mengitari Matahari sembari menyanyi, tiba-tiba Matahari protes, “Siapa yang merusak gerakan kosmos?” Lalu terjadilah perdebatan antara Matahari, Saturnus, Venus, Mars, Pluto, dan beberapa planet lain. Mereka saling menyalahkan, sampai akhirnya semua sepakat bahwa Planet Bumilah yang menjadi si penyebab adanya disonansi, sebuah gerakan yang membuat kacau.

Begitulah awal mula kisah pementasan drama, “Der Weltuntergang” (Kiamat), sebuah pementasan dua bahasa, Indonesia dan Jerman yang dikisahkan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman (PB Jerman) kelas I 2010 di Stage Tari Tedjokusumo (29/5). Pementasan ini merupakan aplikasi dari mata kuliah Literatur II  yang diampu Akbar K. Setiawan, M. Hum. dan Drs. Ahmad Marzuki bagi mahasiswa semester 6.

Kisah pun berlanjut, Matahari si pemimpin tatasurya itu memerintahkan Komet untuk menghancurkan Bumi. Matahari yakin, Planet Bumi menjadi sakit karena terlalu berat menampung makhluk bernama Manusia.

Di Bumi yang awalnya nyaman terkendali tersiar kabar bahwa kiamat tinggal satu bulan lagi, Manusia kalang kabut, sampai akhirnya seorang profesor bernama Guck mengumumkan hasil temuannya.”Sebuah mesin yang mampu membelokkan komet dan menghindarkan umat manusia dari kiamat,” kata profesor tua berkacamata itu. Namun, sayang tak ada yang mau menyokong temuannya. Negara di Eropa, layaknya Inggris, Perancis, Austria, dan Jerman memandang sinis karyanya.

Profesor Guck kecewa, ia mengutuki negara di Eropa, “Apa gunanya Ilmu bila tak diterapkan!” teriaknya. Ah! ia bingung dan sesaat alunan musik dengan irama lagu menyuarakan ide, Fliegen nach Amerika atau Pergilah ke Amerika. Maka penuh keyakinan, Profesor Guck ke Amerika. Musik-musik kembali bersahutan dan hasilnya ia ditolak lagi.

Desas-desus kiamat semakin santer, lampu di panggung redup lalu hidup lagi, para pemain berteriak histeris, “Kiamat......Kiamat”, semua panik dan terus berlari menyelamatkan diri. Suara “gedebukan” mendadak memenuhi Stage Tari.

Nun jauh di atas sana, semua anggota kosmos sedang menanti kehadiran Komet. Mereka penasaran dengan nasib Bumi setelah dihancurkan Komet. Matahari bertanya pada Komet dan jawaban Komet membuat yang lain kaget. Ternyata Komet tak jadi menghancurkan Bumi. Usut punya usut, sosok Komet yang diperankan oleh Gentur Wahyu Aji dengan kostum merah menyala jatuh cinta pada Bumi. Ia bilang, “Bumi tak pantas dihancurkan, karena bumi menyimpan keindahan yang pantas dijaga.”

Begitulah akhir cerita dari pementasan drama besutan Anita Widyaningrum (PB Jerman 2008) dibantu supervisor dari ISI, Eko Santoso. Latihan 1,5 bulan mahasiwa PB Jerman terbayar dengan antusiasme penonton. Vina, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mengungkapkan, “Saya rasa pementasan surealis ini tergolong rapi dan unik dengan iringan musiknya yang pas. Namun, sayang suara para pemain kadang tidak terdengar. Mungkin sound-nya kurang keras.”

Susan Oettel, penonton berkebangasaan Jerman berpendapat bahwa pementasan ini bagus dan memberi ruang bagi penonton untuk banyak berpikir, “Nicht nur lancheln aber wir műssen viel denken (Tindak hanya tertawa, tapi kita harus banyak berpikir).” Ia juga berharap untuk pementasan drama selanjutnya, mahasiswa PB Jerman bisa lebih banyak menggunakan bahasa Jerman.

Anita dan Intan (Asisten Sutradara) sepakat ingin menyajikan pesan bahwa semua datangnya dari Tuhan bukan materi, bagaimanapun manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan. Kiamat dan kehancuran yang menentukan itu Tuhan. Di sisi lain, Intan mengungkap, “Pelajaran lain yang bisa kita ambil adalah masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga bumi yang indah dan menyimpan banyak kekayaan dari Tuhan ini, so, don’t judge a book by its cover.” (Fitriananda/Humasfbs)